Privet!

selamat datang...

selamat menyantap hidangan kami.

Minggu, 26 Agustus 2012

Malu berkarya, Sesak matinya

Saya telah memilih bidang kesenian ini (teater) sebagai profesi. berarti saya juga mesti melihat masa depannya. kalau memang lingkungan berteater ini belum ada, saya harus menciptakannya sendiri, yang pasti akan berarti bagi kawan-kawan lain yang ingin bersungguh-sungguh menekuni pilihan yang sama. kalau pemain belum ada, pemain harus diciptakan. kalau keterampilan belum ada, keahlian harus dibina. kalau panggung tidak ada lagi, tempat pertunjukan harus dibangun atau dicari yang lain. demikian juga manajemen dan penontonnya. (Teguh Karya)

Malu berkarya, sesak matinya. saya pernah berpikir konyol seperti ini, menurut saya harus ada sebuah polemik yang bergairah untuk berkarya. entah apapun bentuknya pokoknya setiap polemik bisa kita gunakan untuk berkarya, untuk mencipta. seperti sebuah pepatah lama hidup adalah perihal kita mengisi dan mengolah daya cipta kita untuk menjadi sebuah bentuk tetapi bukan muara tujuan. walaupun sebenarnya saya tersudut untuk kesekian kalinya atas lemahnya apresiasi dan nilai penghargaan yang diberikan lingkungan pembakar gelora semangat saya, tetapi untuk apa mengharapkan penghargaan dan apresisasi dari orang lain kalau diri kita sendiri sudah memberikan apresiasinya? terlebih dalam sebuah bentuk karya. yang lebih perlu adalah penyadaran karena kesenian berasal dari ketiadaan, pun dengan teater yang memiliki berbagai aspek yang meluas terkait dengan perannya di dalam masyarakat.

tulisan ini adalah refleksi saya pribadi seusai melakukan diskusi kilat dengan beberapa teman teater tempat saya bernaung, ada sebuah kegundahan yang dibawa disana, tentang karya, apresiasinya, dan daya ciptanya. pun dengan saya yang lebih setuju untuk memajukan semuanya serentak dalam ruang kolektif terlebihh dahulu tanpa melupakan pengembangan daya cipta personanya. saya pikir kegundahan akan selalu muncul ketika kita selalu mengacu pada pencapaian-pencapain orang lain, ibaratnya kita seperti bertamu dan tuan rumah menunjukkan keberhasilan-keberhasilan dalam mengurusi rumah tangganya dan menyembunyikan segala kegagalan-kegagalan kepada kita, begitu kata seorang teman.

inti dari diskusi yang kami lakukan adalah keharusan bahwa teater bergerak pada poros keteraturan dan eksistensi, pun hanya bertingkah seperti karbit yang gagap dibawa oleh arus ketidaksadaran komunal. saya bahkan belum mengerti keteraturan macam apa yang ada dalam seni? apakah benar ada seni yang teratur? terlebih teater? ada 3 dasar berpikir yang saya adopsi dari Peter Brook mengenai kesenian yaitu seni adalah hal yang non-konsep, non-teknik dan non-estetik, kemudian boleh saya sederhanakan bahasa menjadi pada dasarnya kesenian khususnya drama akan memiliki bentuk tersendiri tanpa konsep,teknik dan estetik yang baku karena pencarian akan terus terjadi, hanya ada dua yang membuatnya mati, pertama kita berhenti mencari dan kedua kita sudah merasa mencapai tujuan yaitu menemukan bentuk baku. lalu keteraturan semacam apa yang akan kita bawa berpawai keliling ruang budaya jika kita belum sadar akan hal ini?.

Hari ini tiga puluh Sembilan, bunyi seperti lonceng, selain dari kelemahan lama dan intelektualku sekarang aku punya alasan curiga pada… (ragu-ragu)… puncak satu_ atau semacamnya. Menghadiri  acara-acara membosankan, seperti tahun-tahun terakhir, diam-diam ke gudang minum anggur. sendirian di depan perapian mata tertutup, memisahkan butir-butir padi dari kulitnya. (Samuel Beckett, Krapp’s Last Tape)

malu berkarya, sesak matinya. bagi saya tak ada alasan untuk berhenti mencari-cari bentuk ekplorasi radikal, terlebih kita sudah membaktikan diri di dalam ruang kesenian, berhubungan langsung dengan daya cipta dan masyarakat penikmat. bersatu atas nama keluhuran ilmu dan kemanusiaan, bagi saya kemurnian itu adalah hal yang sakral seperti tak boleh melepaskan ilmu dalam kehidupan sosialitanya pun sama halnya dengan kesenian. terkadang kita masih menjadi separatis yang saling menindihkan beban hidup di atas kesenian sehingga pencapaiannya hanya sekadar bumbu dapur yang belum diolah sebagaimana mestinya.

teater, bukan sebuah bentuk baku tetapi lebih kepada bentuk laku. dan kebakuan yang dicoba diterapkan dalam berteater adalah kelakuan yang memaksa. seperti jaman pembredelan PKI tahun '65 dulu yang memaksa penyeragaman dalam bentuk gagasan dan ide untuk menempatkan penguasa pada kehormatan yang terjaga. seperti apa seharusnya teater dipandang oleh pegiatnya? sejujurnya saya pun hanya tau berdasarkan pandangan-pandangan orang lain, yang kemudian saya endapkan dalam diri saya menjadi suatu bagian yang sepertinya benar, harus benar atau dibenarkan. berkaca dari rentetan sejarah lahir dan berkembangnya teater di Indonesia harusnya kita setuju untuk mengatakan teater Indonesia tidak memiliki bentuk baku, setidaknya menurut saya ada beberapa  merk teater yang dapat kita temui tumbuh subur di Indonesia, ada yang berupa teater pesanan, teater festival, teater profesional, teater jalanan, teater tradisional, teater kontemporer, teater komersial dan teater rasa. saya lebih menyukai membahas teater rasa, karena sadar atau tidak kesenian selalu bersinggungan dengan nurani pelakunya, dengan rasa. bukan dengan tolak ukur dan kebakuan yang hanya bisa digunakan pada disiplin ilmu tertentu saja, rasa itu harus fluuktuatif dan dinamis bergerak tidak pernah konstan ia selalu menggeliat.

begitulah teater harus dipandang, berdegup tetapi tidak kencang berjalan beriringan dengan peradaban yang dibangun bersama unsur-unsur lain. apakah adil mendikte kesenian hanya dalam satu perpektif? kesuksesan teater bukan melulu soal pencapaian nilai estetis tapi dibalik itu semua ada nilai-nilai luhur tentang pesan dan demonstrasi psikologi yang harus bisa dipertanggung jawabkan. terus terang saya seperti lumpuh sekarang ini, karena baru sadar bahwa sebenarnya tujuan kesenian itu tak lebih adalah menjadi ujung tombak peradaban manusia yang tak akan pernah berhenti melainkan tidak diijinkan Tuhan untuk berkembang lagi.

tulisan ini hanya berbentuk refleksi saya pribadi, kegundahan saya dalam meraba masa, kegalauan saya akan nilai-nilai yang mulaii bergeser. bagi saya malu berkarya akan sesak matinya, tak ada maksud lebih dari slogan sederhana ini selain membuat kita sadar bahwasanya hidup adalah karya -Tuhan-, manusia adalah -kalau boleh saya persepsikan- kerator-kreator kecil yang juga harus mencipta. seperti masa peradaban silam yang sudah mampu membangun Tuhan-Tuhan baru sampai kita tunduk pada tuhan-tuhan digital dan terlena di dalamnya. mari kita pandang semua ini dalam tataran yang sesuai tanpa membanding-bandingkan, tanpa melebih-lebihkan hanya melakukan apa yang setidaknya bisa kita lakukan untuk sekadar mengisi hidup dengan mencipta, baik secara persona maupun komunal.


foto: pementasan Sikat, Sikut, Sakit
dokumen pribadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar