Privet!

selamat datang...

selamat menyantap hidangan kami.

Minggu, 26 Agustus 2012

Bukit ilalang

gerah, hanya kata itu yang keluar dari mulutmu. sekarang kita ada di bukit dimana ilalang terhampar elok dengan beberapa bunga, kau tertidur disampingku menunjuk beberapa awan yang sedang berparodi untuk kita. tapi sekali lagi kau berkata "gerah", aku terdiam, melihatmu penuh tanya serta memerhatikan sendi-sendi tulangku yang kikuk dan kaku, menerka-nerka apa penyebab kau gerah? padahal disini sangat dingin. beberapa detik sebelumnya kita tertawa, menebak bentuk-bentuk awan dan tertawa dalam bius cahaya pagi ini. sampai kau benar-benar merasa gerah dan marah, mencibir awan yang sebelumnya kau puja, mencabuti ilalang dan mematahkan bunga-bunga disekitarnya. kau hanya berkata "gerah".

mungkin kita tak akan menemui sebuah pengalaman yang sama lagi, dimana aku merasa terlalu dingin dan kau merasa terlalu gerah. sebelumnya kita sepakat jika udara di bukit ini sangat dingin dan berjanji untuk saling mendekap dan menghangatkan, "apakah kau mau memeluk tubuku?" pertanyaan itu ku lontarkan padanya, tetapi dengan mengerang ia berkata "apa kau gila? ini terlampau gerah untuk berpelukan!" mataku membeku seperti kandas dalam kabut yang berjuntai turun. tubuhku benar-benar tak mampu digerakkan seakan semuanya membeku dan melekat pada ilalang tempat aku terbaring, sedang dia bersijengkat lari, berteriak gerah mengutuk tuhan yang menciptakan matahari terlampau besar!!, ia menanggalkan pakaiannya, berlari ke sebuah sungai kecil yang lebih mirip parit lalu berendam di dalamnya, sedang aku tak bergerak sedikitpun -aku hilang akal- namun kupaksakan tanganku yang menjalari rumput dan ilalang untuk memunguti pakaian yang telah ia tanggalkan itu dan setelahnya kupakaikan pada badanku yang mulai mengerut. hangat sejenak, tetapi bukit dimana kami berada sekarang ini terlalu dingin, dan kabut dengan cepat mengepung kami, menggantikan awan yang tadi kami nikmati itu.

parit kecil itu sudah hilang dari pandanganku, pun dengan ia yang berendam di dalamnya, tapi aku mendengar jelas suara ia mengerang "GERAH..!!! GERAH..!!!", aku kuatir akan keadaanya, bagaimana bisa ia gerah??? aku bangkitkan tubuhku yang kaku, melangkah mencari suara dan bunyi gemericik air tapi aku tak menemukan. kemudian bunga-bunga itu tertawa, menertawakan aku yang merasa dingin sambil terus mencari asal suara, dimana ia? aku takut ia mati kedinginan. semua pekat, aku meraba udara untuk membantuku berjalan, melekatkan resleting jaketku dan menyidekapkan tangan didepan dada. "Tuhan, tolong jangan bercanda di waktu seperti ini", aku mengeluh dalam hati, namun suara itu kini menjadi dua dan bersahut-sahutan, semakin keras.

mulutku yang kelu kupaksakan untuk berteriak "Ariani..!!! Ariani..!!", namun suaraku itu hanya menghempas kabut dan membuat tebing-tebing itu berteriak yang sama. aku lelah, lelah sekali. aku tahu parit itu sangat dekat jaraknya tapi kabut telah memanipulasi keadaan. jarak di dalam kabut memang tak bisa diterka, yang dekat terasa jauh dan jauh terasa dekat. "Ariani, ini bukan kabut, Ini awan, awan yang tadi kau puja! jangan takut Ariani" bias, suaraku berpencaran dan semakin pekik riuh karena tebing-tebing disekitar bukit ini berseru yang sama. kosong setelahnya, bahkan angin tak bersuara, kabut kembali ke puncak gunung bosan bermain di bukit ilalang. jarak pandangku terbuka, kulihat sekawanan burung yang jatuh hati pada bunga dan menciuminya berulang-ulang, serta kupu-kupu yang sayapnya berseruan tinggi rendah menukik-nukik.

dimana parit itu? Ariani, dimana ia? parit itu menghilang entah kemana, atau justru aku yang terlalu jauh pergi mencarinya hingga tersesat? tapi ini tempat kami berbaring, bahkan aku tak beranjak sedikitpun dari sini. aneh, mengapa bukit ini sudah tidak dingin, apa benar aku tak salah merasa? awan itu kembali hadir, bergelombang menari di langit seperti ombak yang jatuh hati pada pelaut. tapi itu awan hitam, gelap dan pekat, bahkan percik halilintar juga turun menyemarakan pesta dibukit ilalang ini. tak lama hujan turun menghapus lendir-lendir kepalsuan, ilalang pun bersorak-sorai menyambut, dan dikejauhan aku melihat sosoknya tak lebih dari seratus meter, Ariani yang berjalan membelakangiku, aku mengejarnya sembari memanggil "Ariani!!" lalu ia semakin cepat berjalan, aku mempercepat lari dan semakin keras memanggil namany, tapi ia lebih cepat lagi berjalan, tidak sekarang ia berlari.
 

di ujung bukit ilalang ini, tempat dimana aku letih menyebut namanya dalam dingin, ia melompat kedalam jurang yang ia percaya bisa menghilangkan gerahnya, dan hilang seiring terikan-teriakan gerah itu. aku berhenti kakiku lemas, tertunduk, dan jutaan ilalang memeluk tubuhku. aku terbaring ditempat ini, bahkan aku sama sekali belum beranjak sedikit pun, "bukit ilalang selalu punya sejuta cerita tentangmu Ariani" dan kau hanya tersenyum dan berkat "sekarang aku benar-benar merasa gerah". 

gerah, hanya kata itu yang keluar dari mulutmu. sekarang kita ada di bukit dimana ilalang terhampar elok dengan beberapa bunga, kau tertidur disampingku menunjuk beberapa awan yang sedang berparodi untuk kita. tapi sekali lagi kau berkata "gerah", aku terdiam, melihatmu penuh tanya serta memerhatikan sendi-sendi tulangku yang kikuk dan kaku, menerka-nerka apa penyebab kau gerah? padahal disini sangat dingin. beberapa detik sebelumnya kita tertawa, menebak bentuk-bentuk awan dan tertawa dalam bius cahaya pagi ini. sampai kau benar-benar merasa gerah dan marah, mencibir awan yang sebelumnya kau puja, mencabuti ilalang dan mematahkan bunga-bunga disekitarnya. kau hanya berkata "gerah".

mungkin kita tak akan menemui sebuah pengalaman yang sama lagi, dimana aku merasa terlalu dingin dan kau merasa terlalu gerah. sebelumnya kita sepakat jika udara di bukit ini sangat dingin dan berjanji untuk saling mendekap dan menghangatkan, "apakah kau mau memeluk tubuku?" pertanyaan itu ku lontarkan padanya, tetapi dengan mengerang ia berkata "apa kau gila? ini terlampau gerah untuk berpelukan!" mataku membeku seperti kandas dalam kabut yang berjuntai turun. tubuhku benar-benar tak mampu digerakkan seakan semuanya membeku dan melekat pada ilalang tempat aku terbaring, sedang dia bersijengkat lari, berteriak gerah mengutuk tuhan yang menciptakan matahari terlampau besar!!, ia menanggalkan pakaiannya, berlari ke sebuah sungai kecil yang lebih mirip parit lalu berendam di dalamnya, sedang aku tak bergerak sedikitpun -aku hilang akal- namun kupaksakan tanganku yang menjalari rumput dan ilalang untuk memunguti pakaian yang telah ia tanggalkan itu dan setelahnya kupakaikan pada badanku yang mulai mengerut. hangat sejenak, tetapi bukit dimana kami berada sekarang ini terlalu dingin, dan kabut dengan cepat mengepung kami, menggantikan awan yang tadi kami nikmati itu.

parit kecil itu sudah hilang dari pandanganku, pun dengan ia yang berendam di dalamnya, tapi aku mendengar jelas suara ia mengerang "GERAH..!!! GERAH..!!!", aku kuatir akan keadaanya, bagaimana bisa ia gerah??? aku bangkitkan tubuhku yang kaku, melangkah mencari suara dan bunyi gemericik air tapi aku tak menemukan. kemudian bunga-bunga itu tertawa, menertawakan aku yang merasa dingin sambil terus mencari asal suara, dimana ia? aku takut ia mati kedinginan. semua pekat, aku meraba udara untuk membantuku berjalan, melekatkan resleting jaketku dan menyidekapkan tangan didepan dada. "Tuhan, tolong jangan bercanda di waktu seperti ini", aku mengeluh dalam hati, namun suara itu kini menjadi dua dan bersahut-sahutan, semakin keras.

mulutku yang kelu kupaksakan untuk berteriak "Ariani..!!! Ariani..!!", namun suaraku itu hanya menghempas kabut dan membuat tebing-tebing itu berteriak yang sama. aku lelah, lelah sekali. aku tahu parit itu sangat dekat jaraknya tapi kabut telah memanipulasi keadaan. jarak di dalam kabut memang tak bisa diterka, yang dekat terasa jauh dan jauh terasa dekat. "Ariani, ini bukan kabut, Ini awan, awan yang tadi kau puja! jangan takut Ariani" bias, suaraku berpencaran dan semakin pekik riuh karena tebing-tebing disekitar bukit ini berseru yang sama. kosong setelahnya, bahkan angin tak bersuara, kabut kembali ke puncak gunung bosan bermain di bukit ilalang. jarak pandangku terbuka, kulihat sekawanan burung yang jatuh hati pada bunga dan menciuminya berulang-ulang, serta kupu-kupu yang sayapnya berseruan tinggi rendah menukik-nukik.

dimana parit itu? Ariani, dimana ia? parit itu menghilang entah kemana, atau justru aku yang terlalu jauh pergi mencarinya hingga tersesat? tapi ini tempat kami berbaring, bahkan aku tak beranjak sedikitpun dari sini. aneh, mengapa bukit ini sudah tidak dingin, apa benar aku tak salah merasa? awan itu kembali hadir, bergelombang menari di langit seperti ombak yang jatuh hati pada pelaut. tapi itu awan hitam, gelap dan pekat, bahkan percik halilintar juga turun menyemarakan pesta dibukit ilalang ini. tak lama hujan turun menghapus lendir-lendir kepalsuan, ilalang pun bersorak-sorai menyambut, dan dikejauhan aku melihat sosoknya tak lebih dari seratus meter, Ariani yang berjalan membelakangiku, aku mengejarnya sembari memanggil "Ariani!!" lalu ia semakin cepat berjalan, aku mempercepat lari dan semakin keras memanggil namany, tapi ia lebih cepat lagi berjalan, tidak sekarang ia berlari.

foto: draguscn.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar