Privet!

selamat datang...

selamat menyantap hidangan kami.

Senin, 27 Agustus 2012

Mirisnya sebuah sebuah Republik

foto: kreavi.com

belum tahu apa yang akan kutulis disini dari sebuah ide yang tidak begitu menarik, hanya sebuah perasaan pesimis tentang sebuah kemerdekaan itu. belum genap sebulan kita merayakan hari jadi republik yang ke 67, namun berbagai persoalan kebangsaan muncul lagi. yang kusesalkan mengapa harus mengatasnamakan Islam? agama yang sejatinya sudah sempurna tanpa sebual embel Syiah, Sunni, Salaf dsb. pertanyaannya MENGAPA? di madura terjadi bentrokan yang mengambil 1 nyawa melayang, penyebabnya tak begitu jelas tetapi banyak yang menduga akibat pertentangan klasik Syiah dan Sunni yang mungkin selama ini perkembangan konflik itu hanya pada wilayah Kaukasus dan Timur Tengah saja, namun hadir dan tersaji tak kalah garang di Indonesia.


 foto: http://ridwanaz.com

apakah ada pemain dibelakang semua ini? apakah sengaja dihembuskan isu ini agar terjadi kemelut dan ketakuan diantara umat beragama di Indonesia? logikanya seperti ini jika kita mampu membunuh dan mengusir sesama umat muslim bagaimana dengan umat non muslim? terlebih seakan corak umat muslim yang fanatik lewat hadirnya beberapa Habib yang entah nasabnya dari mana, jemaah-jemaah yang memiliki afiliasi politik sendiri, atau sekadar sebuah komunitas yang mendasarkan syariat sebagai perjuangan. tetapi cobalah bijak melihat segala sesuatu, bukankah Islam adalah Rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta)? lalu mengapa kini kita cenderung ganas dan tamak terhadap eksistensi jemaah dan komunal yang kalau bijak cukuplah Allah swt sebagai penjaga agama ini.

masih segar benar betapa berita pertikaian di Rohingnya begitu menyayat hati kita, tangis mereka kita klaim sebagai tangis kita, seakan merasakan kedukaan yang sama dan rela mengulurkan tangan untuk membantu. atu tenatng palestina yang negaranya kita cintai bagaikan negara sendiri bahkan tak jarang kita lebih sering memasang bendera palestina ketimbang sang saka merah putih, namun mengapa kita berbuat hal serupa untuk menindas yang lemah? bahkan terhadap saudasra sendiri? sudahkah hilang sebuah kekuatan dialog yang terbuka dan arif untuk menyelesaikan masalah hingga semua harus dilakukan dengan tindakan?.

 mungkin ini menjadi renungan kita bersama bagaimana kondisi bangsa kita ini yang selalu seakan mudah sekali diprovokasi, sehingga menjadi mainan politik bagi orang-orang besar yang entah siapa saja orangnya. harusnya kita berkaca pada diri sendiri, belajar memahami semua fenomena yang ada, jangan biarkan hati mengeras oleh karena fanatisme yang berlebih karena akan kerdil pula otak kita jika sudah dibutakan fanatisme sempit. ya tetap saja ini akan menjadi sebuah pekerjaan rumah yang besar untuk kita, karena masa depan ada pada tindakan dan orientasi kita yang akan menyongsongnya.

bukan lagi berangan-angan tentang kejayaan Sriwijaya atau Majapahit tetapi melihat tantangan ke depan yang jauh lebih terjal dan gelap dengan persiapan yang matang. menghargai perbedaan yang menjadi dasar terbentuknya republik, romantisme untuk tetap menggunakan diksi-diksi perjuangan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bung, dan pemuda, yang semuanya sudah disulap oleh waktu hanya menjadi sebutan Indonesia, bapak, dan remaja yang kehilangan semangat revolusioner dan seakan sebuah sebutan yang menentramkan sampai-sampai mental kita seakan tentram dan tak ingin bekerja keras lagi seperti para founding father kita dahulu.


foto: dakwatuna.com

konflik-konflik yang terjadi di Republik adalah sebuah permainan dan intrik untuk memecah belah bangsa, untuk saling membenci hingga nanti kita benar-benar tercerai dari apa yang ada kini. satu-satunya cara filtrasi semua iniadalah dengan adanya niat dan kemauan untuk membenahi masa depan yang suah bocor disana sini dengan tekad yang kuat, penghargaan kepada perbedaan seperti yang tertuang dalam pancasila, dan akses yang luas di bidang pendidikan. republik ini bukan sebuah etalase kegagalan seperti yang sudah kita lewati lebih dari setengah abad lalu tetapi repoblik ini adalah sebuah maket dari peradaban yang madani, dan tangga itu sedang kita titi satu persatu.

apa yang sejatinya ada dalam pikiran kita adalah sebuah cita-cita dan harapan yang menunggu sebuah tindak nyata dalam kehidupan. menjadi beda bukan berarti kita membeda-bedakan karena perbedaan itu natural bukan dibuat-buat, dan yang terpenting adalah bagaiaman kita memandang perbedaan itu. republiku yang tercinta perjuangan masih terus terwariskan untuk terus meninggalkan jurang kemiskinan, untuk terus maju menyongsong hari dimana kelak tidak ada kata "terlalu" disana, negeri dimana para malaikat menjadikan taman-tamannya sebagai tempat bermain, negeri dimana perbedaan adalah sebuah alasan untuk saling menguatkan.

mungkin sudah saatnya tulisan tanpa referensi ini saya sudahi, nanti mungkin tulisan ini akan dibaca kelak ketika kita sudah menanggalkan predikat generasi nol baca.
 
foto: dinaryuliati.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar