Privet!

selamat datang...

selamat menyantap hidangan kami.

Minggu, 26 Agustus 2012

A.H. Nasution, Jenderal yang dilupakan


Jend. A.H. Nasution, Bung Karno, dan Mayjen Soeharto
foto : gmic.co.uk

17 Oktober 1958, seorang jenderal memerintahkan sekompi pasukannya untuk mengepung istana negara dengan meriam tembak dari semua sisi, resimen tjakrabirawa panik, jenderal siapa gerangan yang berkeinginan meng-coup kekuasaan dari pemimpin besar revolusi kala itu Bung Karno? ketika itu bung karno tidak tahu menahu, maklum untuk negara yang baru berusia 13tahun pergerakan politik seperti ini masih belum dapat terbaca dengan jelas yang ada waktu itu fondasi kekuatan stategis ideologi hanya ada pada Nasionalisme, Agamis, dan Komunisme yang lebih tenar disebut Nasakom dan tidak ada kecurigaan yang terlalu kecuali kepada komunis yang saat itu tidak memiliki kekuatan militer. sekompi pasukan itu dengan moncong meriam yang dengan jelas mengarah pada istana negara seperti sebuah ancaman, apakah sebuah kudeta? hingga tak lama jenderal dibalik itu semua menghadap bung karno, dengan gagah dan langkah pasti sang jenderal membacakan keinginan dan tuntutannya.

"Bubarkan parlemen", tegas katanya. bung karno dibuat panas mendengarnya. siapa jenderal itu? ya, siapa lagi yang memiliki posisi strategis dari Angkatan Darat klo bukan Abdul Haris Nasution, ia adalah sosok yang paling berpengaruh di kalangan militer kala itu. tegas dan tidak pernah ragu bahkan perihal konsepsi dwi fungsi ABRI, bahkan ia berani untuk mengancam bung karno yang pada zaman itu dianggap seperti dewa yang mabuk kuasa, bung karno itu ditemani tiga ajudannya berjalan ke arah sekompi pasukan yang meneriakkan "bubarkan parlemen!!, bubarkan parlemen!!", derap langkah bung karno tak ragu, keras menghentak sembari memukul-mukulkan tongkat komando ke telapak tangan kirinya yang dilakukan berulang-ulang, "jika kalian ingin aku bertindak sebagai diktator, cepat arahkan meriam itu langsung ke dadaku!" sekompi pasukan itu membisu seperti juga Nasution yang tak bergeming, "aku tidak akan pernah membubarkan parlemen itu karena aku bukan diktator!" lanjut bung karno sembari meninggalakan pasukan yang telah kehilangan keberanian itu.

gertakan 17 oktober itu justru menjadikan Nasution semakin dilupakan dan dikebiri di militer, tindakan tanpa perhitungan matangnya mengharuskan ia di copot dari KSAD (kepala staf angkatan darat), bung karno lekas menempatkannya di balik meja dan menyibukkannya dengan urusan birokrasi warisan belanda yang ngejelimet tanpa pasukan dan kuasa, tapi bukanlah seorang jenderal jika tanpa pasukan, terang Nasution mengundurkan diri.

tiga tahun berada diluar AD mesti tetap sebagai perwira aktif, Nasution mengunakan waktu untuk belajar politik, mencermati gejala sosial, memahami tipografi rakyat kebanyakan. nasution sudah tidak ambisius dalam tiga tahun namun intuisinya teasah semakin runcing, dia menjadi pandai mengkritik terlebih soal PKI dan ideologi komunisnya yang kala itu menyebarkan propaganda angkatan kelima, yaitu mempersenjatai buruh dan tani. Nasution kembali dipanggil bung karno untuk perintah khusus stabilisasi keamanan republik, pasukan dan kekuasaan kembali ia rengkuh dan kali ini langkah Nasution begitu bijak dan strategis, ia menerjemahkan perintah stabilisasi dengan baik hingga posisi Menham dan KSAD ada ditampuk pimpinannya, bahkan ketika itu, Nasution hendak memenangkan pertempuran dengan Federasi Malaya, ANZAC dan India perihal perebutan Serawak dan Sabah atau lebih dikenal dengan manuver politik ganyang malaysia. TNKU bentukannya kala itu benar-benar memberikan perlawanan senit dibantu oleh segelintir militansi penduduk brunei, namun sayang cita-cita bung karno gagal ia wujudkan karena tentara revolusioner segera melaksanakan gerakan september tigapuluh yang kelak disebut G 30 S.

isu dewan jenderal yang dihembuskan golongan kiri dan penculikan terhadap jenderal-jenderal AD menjadi sebab utama kekalahan TNKU (tentara nasional kalimantan utara) dari Federasi Malaya, Anzac dan India, konsentrasi pecah, komando AD hilang karena Nasution menjadi sasaran penculikan pun ketika yang ditembak tentara revolusioner justru ajudannya yaitu Pierre Tendean. nasution memang jenderal besar insting pelariannya bahkan tak terdeteksi sampai sekian waktu, ia pandai menghadapi sergaoan macam itu sampai momentum G 30 S jadi ajang cari muka Mayjen Soeharto dan Kol. Sarwo Edhi Wibowo yang seperti mendapatkan angin segar memegang tampuk komando, ya kala itu Soeharto adalah Komandan Kostrad dan tak memiliki akses besar di AD, selepas itu semua supersemar segera menjadi langkah politis pertama soeharto hingga tak lama setelahnya ia menjabat sebagai presiden, entah ada apa dibalik hilangnya supersemar yang asli sehingga sampai kini banyak spekulasi miring tentang isi dan makna yang terkandung tentang perintah pengamanan tersebut.

kongsi Soeharto dengan Nasution cenderung lebih statis tidak seperti dengan bungkarno yang naik turun dan kadang sangat harmonis, dengan soeharto hubungan keduanya sangat dingin dan tegang, setelah menjadi presiden Soeharto membatasi ruang gerak politik dan sosial Nasution, karena ia mengerti karakternya yang cenderung berani dan tak ragu. nasution bahkan tidak bisa keluar negeri sekedar berplesir seperti para pejabat lain "jangankan ke luar negeri ke luar kota saja tidak bisa", katanya. jenderal besar itu terus berjuang ia beropini lewat media, namun bukan orde baru namanhya jika semuanya tanpa pengawasan. Nasution menjadi pisau tumpul dan kelak berkarat bagi kedigdayaan Soeharto.

pertanyaan saya apakah ada jalan jenderal A.H. Nasution?
ya ada memang jalan A.H Nasution salah satunya yang ada di Bandung, tapi adakah jalan Jenderal A.H. Nasution? seperti juga jalan jenderal Ahmad Yani, Jalan Jenderal Soedirman, Jalan Jenderal Gatot Soebroto? disini kita harus mencermati usaha Orde baru yang seperti mengerdilkan peran dan jasa Nasution hingga orang lupa bahwa hanya ada tiga jenderal yang pernah tersemat jenderal besar di dadanya, pertama Jenderal Besar Soedirman, Jenderal Besar Soeharto (meskipun banyak kalangan menilai ini merupakan bentuk kediktatoran dan kepercayaan diri yang berlebih) dan yang terakhir adalah Jenderal Besar A.H. Nasution. tapi tetap saja, propaganda orde baru belum bisa diluruskan sampai sekarang ini, kendati hanya sebuah nama jalan sekalipun gelar jenderal harus melayang dari A,H. Nasution tidak seperti koleganya yang lebih junior, Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal Gatot Soebroto yang dijadikan nama jalan namun pangkat jenderal tetap tersemnat di depan namanya.

Nasution menjadi sebuah catatan sejarah yang manis kala republik masih gontai membangun ideologi, politik dan sosial,dan menjadi sebuah catatan yang dihapus ketika orde baru, hingga kini tampuk sejarah berada dipundak kita, apakah sudi kiranya kita membersihkan namanya seperti juga apa yang kita lakukan pada sosok Soekarno? Nasution jenderal besar yang dilupakan, yang nama dan jasanya berada ditangan kita, apakah kita tetap membiarkan doktrin orde baru membatasi ruang gerak berpikir kita atau kita rela menggali dan mengenalnya lebih jauh sebagai implementasi rasa cinta tanah air.

seperti juga Nasution apalah arti seorang jenderal ditengah intrik politik, apalah arti penulis dibanding seorang jenderal.
Jenderal A.H. Nasution bersama dengan Mayjen Soeharto
foto : mustaqimzone.wordpress.com



Jenderal Besar A.H. Nasution dengan berbagai lencana penghargaan.
foto : gmic.co.uk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar