Privet!

selamat datang...

selamat menyantap hidangan kami.

Minggu, 26 Agustus 2012

Pada Pagi yang masih setengah jadi

Hujan disini seperti membawa sebuah kenangan, mungkin benar apa yang pernah dikatakan orang bahwa hujan selalu menghangatkan memori kita. Bau tanah, rumput, dan nyanyian katak seperti orchestra malam yang menemaniku melibas penderitaan, memang pagi baru setengah jadi dan malam baru saja terlewati, tetapi pencerahan selalu datang begitu saja tanpa terlebih dulu menyusun rencana terhadapnya. Oh,, pagi yang baru setengah jadi sudikah kau hentikan hujan ini sejenak agar mereka yang hidup dalam waspada bisa terbangun sekejap untuk memperingatkan orang tercintanya akan bahaya air bah? Sayang kau bukan Tuhan yang memiliki kemampuan itu, kita semua hanya hamba yang menjalankan tugas-tugasnya dengan cinta.

Cinta, bagiku sebuah penghargaan tertinggi yang manusia berikan terhadap manusia lain, yang menurutnya layak menyandang sesuatu yang disebut cinta. Seperti juga hari ini ketika kau mengucap cinta, kau seperti bayi mungil yang gagap menangis. Aku bukan tak mencintaimu hanya saja kau terlalu emosional mengungkapkannya, sehingga aku tak sempat menyeka air mata. Andai saja kau mengungkapnya pada waktu yang tepat, pada sebuah pertemuan singkat yang dulu pernah kau inginkan dariku. Kini semua sudah tumpah menjadi perasaan yang tak mampu lagi aku gambarkan seperti apa, aku dan kamu seperti sepasang merpati.

Kau sudah bersamaku kini, mengukir rantai cinta yang melilit dunia, menjebak milyaran orang agar jatuh kepadanya. Mengapa harus jatuh cinta? Kata yang lebih tepat digunakan sebagai jebakan. Mengapa tak saling mencintai? Seperti apa yang kita selalu lakukan. Oh.. tuhan, coba kau lihat kemesraan mereka yang hanyut pada tikungan madu, yang berelegi dengan waktu. Mereka sungguh menawan seperti kupu-kupu yang terbang membagi sari makanan pada pasangannya yang lapar. Pagi masih setengah jadi. Hujan… disini aku merasa seperti sebuah plakat nama yang belum jadi, plakat yang nanti akan menghiasi rumah terakhirku. Kau tahu kado terindah yang mampu diberikan manusia adalah plakat nama yang abadi, atau orang bodoh menyebutnya sebagai nisan. Seperti itulah aku.

Ibu, dia kini bersamaku, menggenggam sebuah bunga ditangan kanannya dan binatang pengerat di tangan kirinya. Aku selalu bingung pada hidup yang mengelilingi hidupku, selalu jatuh pada sebuah anggapan “mengapa semua selalu berakhir pada sebuah pertanyaan, Siapa aku?” hari ini kau mungkin tak melihatku menangis, mendekap perutku kencang, dan mengerang-ngerang. Tapi aku tahu disana kau merasakan sebuah kegundahan yang justru kau rindukan. Aku takut cintamu membuatku menjadi besar kepala, seperti kata seorang teman “eksistensi wanita ada pada gaya berpakaian sedangkan eksistensi pria ada pada wanita, oleh karena itu banyak wanita yang bingung ketika pria ingin menanggalkan pakaian mereka” kembali semua pertanyaan itu menjalari setiap sel otakku, melebur jadi satu dan bermuara pada pertanyaan itu lagi “siapa aku?”

Tuhan, biarkan aku menyadarkannya tentang satu hal yang tak pernah ia sadari. Ia terlalu mudah untuk mencintai. Melihat bunga bermekaran ia mencintainya, melihat anak kecil menangis ia mencintai itu, dan melihat aku tersenyum pun ia mencintaiku. Apakah aku salah? Tetapi selalu ada kesalahan agar menyibak jalan kebenaran. Apakah kau terluka? Tapi bukankan dengan mencintai berarti kau melukai dirimu sendiri? Kau mengetahui resiko mencintai sehingga kau lupa resiko dicintai. Pagi masih setengah jadi, bahkan tuhan tak pernah berjanji pagi hari ini akan penuh mengantar kita pada sang-siang berikutnya.

Hujan sudah mulai menyurutkan frekuensinya, sebentar lagi jangkrik dan katak akan menggelar pesta, melantunkan lagu , mungkin semacam lagu pemujaan terhadap Tuhan. Karena hujan selalu membawa karunia, bahkan ketika kita menutup hati untuk menerimanya. Kau terlampau jauh untuk ku dekap seperti aku terlalu jauh berdiri dari batas antara cinta dan benci. Huh.. andai saja kau tak pernah mengeluh akan hal ini, andai saja kita seperti biasa saja, hanya membagi keluh dan kesah, saling menopang dalam rapuh, dan mengingatkan ketika kita terlalu terlena. Tapi kau terlalu mudah mencintai.

Maafkan aku sayang, hujan hari ini memang tidak dibarengi dengan petir. Petir tak mau membuatmu takut lalu terbangun dari tidurmu,pagi-pagi sekali hujan ini telah menari-nari membuat sebagian orang dibalik lelap terendam oleh air mata. Tahukah kau tanpa kau mengatakan apapun, bahkan hanya kedipan matamu yang melambat ketika bertemu dengan mataku, aku sudah tahu apa itu arti mencintai. Tetapi aku tak pernah mudah untuk mencintai. Aku tak pernah membagi cintaku pada hal yang kuanggap tak penting, bahkan termasuk mencintai diriku sendiri. Hanya kamu sayang.

Hujan kini mulai deras kembali, pagi ini tak sedikit pun membawakan dingin yang biasa. Disana mungkin kau mencintai dingin, kau juga mencintai bintang, hujan, bulan, dan angin. Tetapi kau mencintai beberapa yang menghalangi kau untuk mencintai. Saat ini hujan turun, mendepak kekuasaan bintang dan bulan, menggantinya dengan awan yang kemerahan. Namun aku tahu bahwa kau akan tetap mencintai, bahkan kau tak membenci sedikitpun, bagimu selalu ada keindahan dibalik sebuah kenistaan. Tuhan selalu menciptakan segala sesuatunya dengan imbang, seperti ketika mereka percaya padaNya atau percaya hanya pada diri mereka sendiri.

Kau bilang “aku sangat cinta ketika ada orang yang mencintaiku, seperti aku juga cinta kepada orang yang menjahatiku”, aku hanya tersenyum pada titik kebingungan. Mengapa cinta memberikanmu keluasan hati? Sedang bagiku cinta tak lebih dari politik para malaikat untuk mengalahkan politik para setan yang mereka namakan sebagai benci. Ah, aku jadi tak selera melewati pagi, aku tak ingin terlampau sedih, terlampau senang, atau tak mampu merasakan keduanya?? Oh Tuhan yang mulia.. oh tidak,, tuan yang mulia.. hmm,, bukan! Sepertinya Tuhan, berikan penjelasan padanya bahwa dunia selalu ada untuknya, bahkan ketika ia tak menginginkannya lagi, supaya ia tidak mencintai kematian.

Jantungku mendadak berdebar, ditengah hujan pada pagi yang buta ini diluar rumahku seorang maling tertangkap oleh warga kampung, Ayah dan kakakku bahkan ada diantara salah satu mereka yang menangkapnya. Maling itu merintih kesakitan, aku tak tahu apa yang sebenarnya dibuat oleh warga kampung padanya, suara itu tertelan oleh melodi yang keluar dari titik air hujan, Ayah dan kakakku sudah kembali, mereka basah kuyup, muka mereka amat kesal, ternyata motor yang biasa kupakai adalah sasaran maling tadi, untungnya warga kampung berhasil menangkapnya kalau tidak mungkin di pagi yang belum setengah jadi ini aku berteman hujan kesedihan.

Aku memang sudah lama mencintai Ayah dan kakakku tapi saat ini aku sungguh-sungguh mencintai mereka, malam selalu menyediakan waktu untuk meyulapmu menjadi orang romantic bukan, hehe.. secara tak sadar aku pun mudah mencintai, tapi mengapa tidak pernah mencintai diri sendiri? Kembali berlari kepada persoalan-persoalan itu, pada poros yang sama yaitu “siapa aku?”. Kejam, aku tak pernah mencintai diri sendiri, bahkan cermin yang biasa menggambarkan wajahku pun tak sudi kupandang, karena menurutku itu hanya akan memperlihatkan dosa-dosa yang pernah kulakukan dulu. Tak seperti kau yang mencintai segala kekurangan dan kelebihanmu, aku lebih yakin bahwa keburukan akan membawa petaka-petaka. Mungkin kau sedang terlelap kini, bersama dengan boneka manis yang selalu tergolek dalam pelukmu, mungkin juga kau sedang mencintai mimpi-mimpi, atau kau sedang bernegoisasi dengan Tuhan perihal keberadaanku setelah mati nanti. Oh… aku tak pernah berani bertatapan dengan kenyataan, bahwa realitas selalu ada penciptanyanya. Pagi setengah jadi ini tak lagi bernada, katak dan jangkrik terdegradasi akibat padatnya bangunan. Hanya hening yang cukup menyejukan sehingga aku lupa bahwa dulu pernah ada katak dan jangkrik yang melantunkan lagu disini.

Mataku sudah terlampau letih, jariku sudah ingin berhenti, hanya saja otakku terus memaksa. Seandainya saja aku berada disana sekarang aku akan dengan senang hati menjaga tidurmu. Menghajar puluhan nyamuk yang tega menyentuhmu atau mengusir udara dingin yang ingin memelukmu. Tapi hanya kata-kata yang sekarang bisa menjagamu, mungkin bukan pagi ini tetapi malam ini atau pagi besok? Atau pagi setelah kau membacanya. Aku tak pernah tahu apa gunanya kata dibandingkan dengan selimut yang kau kenakan, tapi kata memang berkhasiat, aku pernah melihat seorang sepertimu menangis hanya karena membaca sebuah puisi. Itulah kekuatan kata sayang, dulu ketika aku bermaksud meminta maafmu dan kau tafsirkan bahwa aku ingin kau melupakanku, itu pun merupakan kekuatan kata, sayang.

Pagi sudah bergerak cepat, sebentar lagi panggilan akan berseru dan tirai di ujung timur dibuka. Pada saat terang itulah aku akan mencintaimu, mencintai semua cinta dan membiasakan diri untuk selalu mencintai segalanya. Aku dan kamu seperti pagi yang masih setengah jadi ini, kita saling mencintai dalam keheningan.


foto : filsafat.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar