Privet!

selamat datang...

selamat menyantap hidangan kami.

Minggu, 26 Agustus 2012

Moralitas Kandas JAKARTA


Sabtu Kemarin saya memenuhi permintaan seorang teman untuk menyaksikan kawan-kawan sekompatriot berpentas ria dalam sebuah acara di Kampus, maklum karena acaranya hari sabtu jadi saya meyakini bahwa Jakarta akan aman sentosa, di jalan kendaraan akan dengan santun saling berbagi ruang, ya pendeknya tak terlalu bikin emosi naiklah pikir saya. awalnya anggapan saya benar ketika saya menumpangi bus AC 16 yang beroperasi dari terminal lebak bulus ke terminal rawamangun, namun sampai di bilangan Hotel Indonesia masalah mulai muncul kali ini bukan perihal kemacetan, sejujurnya tidak terlalu mengganggu saya tetapi cukup membuat pusing, bus yang saya tumpangi di naeki segerombolan pengamen, mengapa saya sebut mereka sebagai segerombolan? karena tindak tanduknya jauh sekali dari apa yang kita sebut sebagai entertainment khas jalanan. mereka lebih condong kepada pemaksaan dan premanisme.

selepas gerombolan itu sukses menyanyi dengan sumbang, satu dua orang di depan sudah memberikan uang receh mereka dengan terpaksa. saya pikir kalau cara mereka seperti ini -apalagi mereka menyanyi dengan suara sumbang- saya tidak akan memberi barang sepeser pun, salah satu dari gerombolan itu menyodori kami dengan sebuah kantong bungkus permen untung karena yang memberikan uang receh lumayan ramai jadi penolakan saya yang duduk di tengah badan bus tidak terlalu dipedulikan mereka. ya begitulah beturut-turut pengamen setelah mereka kembali hadir, jika di hitung ada tiga atau empat pengamen -satu grup terdiri dari dua orang atau lebih- berbeda, persamaan mereka hanya terletak pada suara menyanyi yang sangat sumbang. di dalam bus yang saya tumpangi itu tak sekalipun saya memberi uang, karena menurut saya kehadiran mereka bukan menambah kenyamanan tetapi justru membuat kami semakin tidak nyaman dan saya harus bersabar dengan telinga yang merasa terusik.

akhirnya sejam berlalu mulai tampaklah lampu merah rawasari, waktunya saya bersiap-siap untuk turun. sebenarnya saya tak perlu lagi menyetop bus, karena sudah pasti akan ada yang turun di UNJ maklumlah satu-satunya kampus ngeri ups -maksud saya- negeri yang ada di Jakarta bagaimana tidak?, tetapi kondektur bus yang berperawakan kecil dan agak kumal bertanya pada saya "pangkalan mas?", saya jawab "UNJ bang", "oh labschool?", saya jawab kemudian sambil telunjuk saya mengisyaratkan berhenti "bukan.. UNJ, disini", "oh sini.. pangkalan sini mah mas namanya, IKIP", kondektur itu sedikit kesal saya buat, sebenaranya saya jauh lebih kesal bagaimana bisa tempat saya kuliah disamakan dengan pangkalan? IKIP pula?

***

minggu malam

sehari semalam sudah saya menumpang tidur di rumah kontrakan sahabat saya, maklum penghuninya sudah pergi sabtu siang karena terlalu rindu dengan sanak dan kerabatnya. sehabis maghrib saya putuskan untuk kembali ke rumah, oh iya sebelumnya saya harus menepati janji dadakan yang saya buat sendiri untuk bertemu dengan seorang teman di bilangan cililitan, tepat saat isya, ketika saya menumpangi bus 43 yang menuju ke arah cililitan. tidak lebih dari satu jam kami berbincang dan bercengkrama di pinggir jalan sampai kami putuskan berpisah, belum terlalu malam saat saya putuskan menaiki bus arah blok m. tetapi penumpang memang tidak banya, ya setidaknya tidak ada yang berdiri di dalam bus 45 ini dan masih bebas mengedarkan pandangan tanpa di halangi.

setengah jam berlalu bus sudah masuk ke terminal blok m, terminal yang ketika baru masuk benar-benar seperti neraka yang memenjara saya dan semua orang dalm bus dengan asap pekat, awalnya saya tidak peduli karena kaos di dalam batik saya masih bisa saya gunakan untuk membantu saya mengurangi menghirup udara maket neraka. tetapi kemudian persoalan jadi bukan cuma sekadar itu saja, seorang wanita yang tadinya duduk tenang satu bangku di depan saya tiba-tiba saja memalingkan mukanya ke arah berlawanan dengan kaca semabri memejamkan mata, kalau boleh saya umpamakan seperti seseorang ketika memakan sesuatu yang masam. spontan saya mengedarkan pandangan saya ke arah kaca luar yang tadi diperhatikan oleh wanita di depan saya, astaghfirullah.... seperti ditimpa bencana maha dahsyat saya mengucap kalimat itu, suasana yang saya lihat adalah seorang kondektur kopaja yang sedang buang air kecil tanpa malu dan sembunyi-sembunyi bahkan ketika ia sadar tiga bus lewat di depannya dengan beberapa penumpang -baik pria maupaun wanita- yang mengedarkan pandangan kepadanya..

moralitas kandas, pikiran saya kacau dan tak tenang, belum lagi kepungan asap hitam pekat dan teriakan ala suku primitif yang menggema. bus yang saya tumpangi puluhan kali dipukul-pukul hanya karena tidak mau maju barang setengah meter. antrean dibelakang bus kami sudah berjubel, supir yang mengemudikan sudah jengah dengan kemceatan -apalagi saya sebagai penumpang- dalam saat-saat seperti ini saya sangat setuju dengan gerakan kredit motor murah, ketika transportasi Jakarta sudah tak layak, bahkan moralitas yang jongkok dan kolaps. saya kemudian begitu rindu mengitari jalanan Jakarta bersama motor kesayangan saya, merindukan kenyamanan yang dihadirkannya bukan terperangkap pada slogan "Unity in diversity" ala Jakarta, atau "enjoy Jakarta" yang cuma numpang mejeng di baliho-baliho yang tertutup jarak pandang oleh kepulan asap hitam.

seperempat jam, bus tetap meggumul di pintu keluar terminal tidak ada seorang polantas yang sigap sama sekali, hanya ada lampu merah yang tak dihiraukan. bus yang saya tumpangi maju satu meter namun sial bagi saya yang duduk di baris paling belakang. karena bus menyerempet bus lain sehingga bagian belakang bus kembali di pukul -kali ini sangat keras- sehingga punggung belakang saya juga seperti dipukulinya keras-keras, jengkel bukan main saya, tapi apa daya kedua tangan saya sudah mengatup hidung dan mulut saya dari kepungan asap, tak bisa saya lepas sedetik pun. ya moralitas Jakarta telah kandas, apalagi yang dijanjikan oleh kota kolaps ini kepada manusia kalah semangat di desa? hingga menganggap Jakarta adalah surga? surga bagi kriminal, surga bagi orang-orang congkak, surga bagi koruptor lebih tepatnya, siapa suruh datang Jakarta.

bus mulai sesak, dua orang wanita tanggung yang mungkin umurnya di bawahku atau mungkin pula sepantaran baru saja naik. hanya ada sisa bangku satu teapt disamping kananku, seorang melihat dan langsung duduk kemudian temannya dengan air muka kecewa berjalan agak ke tengah badan bus. aku jadi teringat pesan seorang teman wanita padaku "utamakan wanita" tanpa pikir panjang aku bangkit dari tempat duduk dan mempersilahkan wanita itu untuk menempatinya, sepertinya mereka bahagia sekali terbukti dengan begitu ramainya bus dengan obrolan mereka berdua. selagi bus terjebak kemacetan di melawai sang kondektur, umrunya kira-kira lebih muda dari saya dan dari pilihan katanya sepertinya ia tak mengenal bangku sekolah.

saya dimintanya duduk di baris depan, padahal saya sudah mengungkapkan alasan kenapa tidak ada orang yang mau atau tidak bisa duduk di bangku itu. bayangkan jarak bangku depan dengan belakang sama sekali tidak menyisakan ruang untuk kaki, atau boleh dibilang bangku itu seperti bangku yang sengaja dikosongkan. kondektur itu kembali memaksa saya dengan berbagai pemikirannya "nanti gak ada sewa, mas" lho? kenapa kalau mau dapat penumpang ya rawat busnya, buat nyaman, kasih pelayanan yang baik. kok tiba-tiba saya yang disalahkan? ya saya tak ambil pusing, tetap saja saya bergeming, agaknya kondektur itu sedikit bergumel. datang lagi ia, meminta saya untuk kembali duduk dengan memegang bahu saya -terus terang saya kesal karena tangan kondektur itu sangat kotor sedang saya menggunakan baju batik inventaris organisasi yang berwarna aduhai-, spontan saya mengajak kondektur itu melihat keadaan bangku itu "coba bang duduk, bisa gak?" saya mempersilahkan ia duduk. ia duduk barang 2 atau 3 detik, "ah bisa-bisa aja nih", tetapi kemudian ia bangkit dan tak pernah lagi memaksa saya duduk sampai saya turun di jalan Iskandar Muda.

moralitas kandas jakarta, sebuah jawaban kekecewaan kita akan setiap hal yang kita anggap mulia. semua seperti digerakkan oleh uang sehingga segala hal yang berbentuk kepentingan kemanusiaan diganyang, seperti robot-robot permainan belaka yang saling menghancurkan. saya jadi teringat pendapat Marx ketika ia mengatakan - kira-kira seperti ini- "untuk membangun peradaban baru, peradaban yang lama harus dihancurkan", saya seperti ingin menghancurkan jakarta agar saya bisa menata kembali. dimana ya presiden yang katanya bergelar doctor honoris causa itu? seperti buta dengan sosialita masyarakatnya dan terlena dengan persoalan imej diri sendiri. sepertinya ia lebih sibuk memikirkan bagaimana ia tetap terlihat tampan dan gagah di mata rakyat yang sudah tak peduli lagi bentuk rupa, khususnya rakyat Jakarta sebagai pusat negeri ini.

bagaimana bung? kita bangkitkan lagi peradaban baru? kita tata lagi semua demi kemanusiaan... jakarta tidak butuh slogan kosong "unity in diversity", "enjoy jakarta","bersatu dalam keberagaman". Jakarta harus segera berbenah, restrukturisasi segalanya, mulai dari tingkat satuan kuasa terkecil sampai satuan kuasa paling tinggi yaitu gubernur sehingga kelak Jakarta menjadi service city bagi penghuninya.

Jakarta yang memanusiakan manusia.




foto: dokumen17lukmanhakim.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar